Rabu, 07 November 2012

PEMANFAATAN LAHAN PASANG SURUT UNTUK PERSAWAHAN DALAM UPAYA MENINGKATKAN PRODUKSI PADI


PEMANFAATAN LAHAN PASANG SURUT UNTUK PERSAWAHAN DALAM UPAYA MENINGKATKAN PRODUKSI PADI

PENDAHULUAN
Tanaman padi (Oryza sativa L) merupakan komoditi utama karena fungsinya sebagai sumber makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Akhir-akhir ini isu tentang ketahanan pangan (food security) semakin bekembang. Padi mulai memiliki multi fungsi bukan hanya sebagai bahan pokok saja tetapi juga menjadi sumber penghidupan, lapangan berusaha, sumber devisa, dan berfungsi dalam mempertahankan stabilitas sosial-keamanan (Soleh Solahuddin, 1998). Penyusutan lahan persawahan dari tahun ke tahun semakin dirasakan karena pesatnya pembangunan. Alih fungsi yang terjadi menyebabkan penurunan pasokan pangan terutama padi. Hilangnya satu hektar lahan persawahan (produktivitas rata-rata 4,5 ton GKG/ha) identik dengan hilangnya produksi beras sebesar 4,5 juta ton beras/musim tanam (Muhammad Noor, 1996). Perluasan lahan pertanian dilakukan dengan cara memanfaatkan lahan-lahan marjinal, diantaranya lahan pasang surut. Hal ini dianggap mampu menggantikan kehilangan produksi tersebut.
Lahan pasang surut merupakan lahan yang penyebarannya cukup luas. Di Indonesia terdapat sekitar 20,10 juta ha lahan pasang surut di tiga pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Widjaja Adhi et al., 1992). Sebagian besar dari luasan tersebut belum dimamfaatkan secara maksimal. Usaha pemanfaatan lahan pasang surut di kawasan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dimulai sekitar 200 tahun yang lalu secara tradisional.
Pada sekitar tahun 1920-an mulai dilakukan berbagai pembangunan di daerah lahan pasang surut antara lain pembuatan jalan, transmigrasi dan pembuatan saluran drainase. Program ini ternyata cukup berhasil sehingga mengilhami pemerintah untuk melakukan pembukaan lahan pasang surut secara besar-besaran dengan dibentuknya Tim Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Hal ini membuat wilayah ini mulai dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Indonesia. Bahkan ketika Indonesia menjadi negara swasembada beras ( tahun 1984) ternyata 59.1 % didukung dari hasil padi di lahan pasang surut (Isdijanto Ar-Riza et al., 1997).
 Pemanfaatan lahan pasang surut terutama untuk tanaman padi menghadapi berbagai kendala. Secara garis besar meliputi, rendahnya kesuburan tanah karena kemasaman tanah yang tinggi (pH 3,0-4,5), kahat hara makro, adanya ion atau senyawa yang meracun (Al, Fe, SO4) dan bahan organik yang belum terdekomposisi. Selain itu, keadaan tata airnya yang kurang baik menjadi faktor pembatas dalam pengelolaannya (Muhammad Noor, 1996). Meskipun dalam pemanfaatannya menghadapi banyak kendala, namun lahan pasang surut memberi harapan dan prospek yang baik. Karena potensi lahannya yang sangat luas apabila diusahakan secara intensif maka dapat meningkatkan produksi padi di masa datang. Selain itu vegetasi alami yang tumbuh di lahan pasang surut bisa menjadi sumber bahan organik yang aman dalam meningkatkan kesuburan tanah. pada lahan pasang surut penggunaan pupuk dapat dikurangi sehingga biaya yang dikeluarkan petani dapat ditekan.















BAB II
TELAAH PUSTAKA
Untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut, pengelolaan air memegang peranan sangat penting. Pengelolaan air dilakukan dengan memperhatikan kedalaman gambut, tingkat pelapukan gambut, lapisan bawah gambut (substratum), ada tidaknya bahan pengkayaan, dan tipe luapan pasang surut. Untuk menanggulangi, mengurangi, dan menghilangkan kemasaman serta untuk meningkatkan hasil komoditas yang dibudidayakan di lahan sulfat masam, pengelolaan air didasarkan pada tipologi lahan pasang surut dan tipe luapan. Tipologi lahan sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, tipologi lahan sulfat masam aktual dengan tipe luapan B, C, D (Ritzema et al., 1993).
Berdasarkan kemampuan arus pasang mencapai daratan, maka tipe luapan pada lahan rawa pasang surut dibedakan menjadi 4 macam tipe luapan yaitu : (Kselik, 1990; Widjaja-Adhi et al., 1992)
Tipe A : Lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pada saat pasang maksimum
(spring tide) maupun pasang minimum (neap tide).
Tipe B : Lahan yang terluapi air pasang pada saat pasang besar.
Tipe C : Lahan yang tidak pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh
pada air tanah dan kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm.
Tipe D : Lahan yang tidak pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh
pada air tanah dan kedalaman muka air tanah lebih dari 50 cm.








Gambar 1. Tipe luapan air pada lahan rawa pasang surut
(Sumber : Widjaja-Adhi et al., 1992)

Klasifikasi tipe luapan ini didasarkan pada pasang maksimum dan minimum pada saat musim hujan (Gambar 1). Untuk musim kemarau,kemampuan arus pasang mencapai daratan berkurang, sehingga perlu perancangan teknik pengelolaan air harus disesuaikan.
Pemanfaatan lahan pasangan surut terutama tipe A dan tipe B yaitu sistem persawahan karena sistem ini paling tepat dan aman terutama terhadap kendala yang ditimbulkan akibat sifat fisik dan kimia tanah. Sistem sawah akan membuat tanah tetap dalam keadaan reduksi dan pada keadaan ini pirit tetap stabil di dalam tanah sehingga tidak membahayakan bagi tanaman padi (Widjaya-Adhi et al., 1992). Berhubungan dengan sistem ini maka pemilihan varietas yang sesuai, pengelolaan air dan pemanfaatan vegetasi alami merupakan kunci utama dalam memperoleh hasil yang optimal.
Kendala dan Upaya Pemanfaatan Lahan Pasang Surut Lahan pasang surut biasanya dicirikan oleh kombinasi beberapa kendala seperti (Anwarhan dan Sulaiman, 1985):
1.      Ph rendah
2.      Genangan yang dalam
3.      Akumulasi zatzat beracun ( besi dan aluminium)
4.      Salinitas tinggi, kekurangan unsur hara
5.      Serangan hama dan penyakit
6.      Tumbuhnya gulma yang dominan.


A. Pemilihan varietas untuk persawahan
Sebagian besar petani di lahan pasang surut menggunakan padi varietas lokal. Di kalimantan selatan terdapat lebih dari 100 jenis padi lokal. Meskipun masa semai sampai panen hampir satu tahun tetapi ada banyak keunggulannya antara lain :
1)      Kegiatan budidaya padi lokal sekali setahun dimulai bulan April- Mei dan air di lahan mulai surut sehingga siap dilakukan penanaman.
2)      Keadaan air cukup dalam ( bagi padi ungggul) pada saat tanam sedangkan padi lokal mampu tumbuh karena mempunyai batang yang cukup tinggi sehingga keadaan ini mengurangi serangan gulma. Saaat air lebih surut maka kanopi padi sudah sempurna menutupi permukaan tanah. akibatnya gulma yang tumbuh relatif kecil. Serangan hama walang sangit biasa menyerang pada bulan juni dapat dihindari karena fase masak susu terjadi pada bulan juli. Disamping itu, padi lokal biasa dipanen bulan Agustus-September sehinggga menghindari serangan tikus.
3)      Pada musim tanam bulan April konsentrasi senyawa meracun seperti garam dan besi mulai menurun (Hasegawa et al., 2003). Hal ini disebabkan curah hujan bulan Desember-Maret yang tinggi, air hujan mengencerkan senyawa meracun pada level yang tidak membahayakan.
4)      Varietas padi lokal mampu tumbuh pada suasana masam.
5)      Akar padi varietas lokal (kal-sel) mampu mengeluarkan eksudat sehingga membuat pH di sekitar rhizoplant jauh lebih tinggi dibandingkan pH tanah. hal ini berasosiasi dengan adanya peningkatan ammonia (NH3) yang berasal dari orgaisme penambat N yaitu Spingomonas sp yang hidup di rhizoplant padi lokal.
B. Pengelolaan tata air
Sistem tata air yang telah dikembangkan untuk reklamasi lahan pasang surut terdapat empat sistem yaitu sistem controllled drainage (sistem Handil), sistem Tidal Swamp Canalization ( sistem anjir), sistem garpu dan sistem sisir (Departemen Pertanian, 1985 ; Muhammad Noor, 2000).

1.      Sistem controlled drainage (sistem Handil).
Kata handil diambil dari kata anndeel dalam bahasa Belanda yang artinya kerjasama, gotong royong. Sistem controllled drainage (sistem Handil) merupakan penyempurnaan dari sistem rakyat yang didasarkan pada sistem tradisional. Rancangannya sangat sederhana dengan membuat saluran yang menjorok masuk dari muara sungai di kiri dan kanan sungai untuk keperluan drainase dan pengairan. Saluran berukuran lebar 2m – 3m, dalam 0,5 – 1 m, dan panjang masuk dari muara sungai 2 km – 3 km. Jarak antara handil satu dengan yang lainnya berkisar 200 m – 300 m. panjang handil biusa ditambah atau diperluas mencapai 20 – 60 ha ( Idak, 1982 ; Noorsyamsi et al., 1984). Pada pinggiran handil dibuat saluran-saluran yang tegak lurus sehingga suatu handil dengan jaringan saluran-salurannya menyerupai bangunan sirip ikan atau daun tulang nangka. Sistem ini mengandalkan tenaga pasang untuk mengalirkan air sungai ke saluran-saluran handil dan parit kongsi, kemudian mengeluarkannya ke arah sungai jika surut.
2. Sistem Tidal Swamp Canalization ( sistem anjir)
Sistem Tidal Swamp Canalization ( sistem anjir) yaitu sistem tata air makro dengan pembuatan saluran yang menghubungkan dua sungai besar. Saluran induk berfungsi sebagai saluran pemberi pada waktu pasang dan sebagai saluran pembuang pada waktu surut.

3. Sistem garpu
Sistem garpu adalah sistem tata air dirancang dengan saluran-saluran yang dibuat dari pingir sungai masuk menjorok ke pedalaman berupa saluran navigasi dan saluran primer, kemudian disusul dengan saluran sekunder yang terdiri atas dua saluran cabang sehingga jaringan berbentuk menyerupai garpu. Ukuran lebar saluran primer antara 10 m- 20 m . ukuran lebar saluran sekunder antara 5 m – 10 m (Notohadiprawiro, 1996). Pada setiap ujung saluran sekunder dibuat kolam yang berukuran luas sekitar 90.000 m2 (300m x 300m) sampai dengan 200.000 m2 (400mx 500 m) dengan kedalaman antara 2,5 m – 3,0 m. Kolam ini berfungsi untuk menampung sementara unsur dan senyawaberacun pada saat pasang, kemudian diharapkan keluar mengikuti surutnya air.
4. Sistem sisir
Sistem sisir merupakan pengembangan sistem anjir yang dialihkan menjadi satu saluran utama atau dua saluran primer yang membentuk sejajar sungai. Panjang saluran sekunder mencapai 10 km. Pada sistem ini dubuat saluran pemberi air dan saluran pembuangan berbeda. Pada setiap saluran tersier dipasang pintu air yang bersifat otomatis (aeroflapegate). Pintu ini bekerja secara otomatis mengatur tinggi muka air sesuai pasang dan surut.
C. Potensi vegetasi alami (gulma) lahan pasang surut
Ada berbagai spesies yang tumbuh di lahan pasang berdasrkan hasil inventarisasi gula yang dijumpai sebanyak 181 spesies yang terdiri dari tiga golongan, yakni golongan rumput, golongn teki dan golongan berdaun lebar. Gulma ini bukan hanya sebagai tanaman pengganggu bagi tanaman padi tetapi sangat bermanfaat.
Gulma mampu tumbuh dengan sangat cepat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan organik sumber unsur-unsur hara yang berguna bagi tanaman, seperti Azollae pinata yang mampu menambat N. Pemanfaatan ini sangat berarti besar dalam usaha menjaga nilai kesuburan tanah.. Teknik pemanfaatanya sudah diterapkan oleh petani, diantaranya ketika penyiangan maka gulma yang dicabuk dibenamkan kembali kedalam tanah dan cara ini dapat menyuburkan tanah tanpa memerlukan masukan dari pupuk. Dengan memperhatikan berbagai aspek mulai dari karakteristik, potensi dan kendala yang dihadapi, maka solusi yang terbaik dalam pemanfaatan lahan pasang surut untuk meningkatkan produksi padi tanpa harus meniggalkan kaidah pertanian yang berkesinambungan dengan berwawasan lingkungan. Sehingga di masa yang akan datang lahan pasang suruttidak menjadi lahan yang terdegradasi dan rusak. Hal yang terpenting adalah lahan pasang surut mampu memberi hasil dan keuntungan bagi petani.

1 komentar: