PEMANFAATAN
LAHAN PASANG SURUT UNTUK PERSAWAHAN DALAM UPAYA MENINGKATKAN PRODUKSI PADI
PENDAHULUAN
Tanaman
padi (Oryza sativa L) merupakan
komoditi utama karena fungsinya sebagai sumber makanan pokok bagi sebagian
besar penduduk Indonesia. Akhir-akhir ini isu tentang ketahanan pangan (food security) semakin bekembang. Padi
mulai memiliki multi fungsi bukan hanya sebagai bahan pokok saja tetapi juga
menjadi sumber penghidupan, lapangan berusaha, sumber devisa, dan berfungsi
dalam mempertahankan stabilitas sosial-keamanan (Soleh Solahuddin, 1998). Penyusutan
lahan persawahan dari tahun ke tahun semakin dirasakan karena pesatnya
pembangunan. Alih fungsi yang terjadi menyebabkan penurunan pasokan pangan
terutama padi. Hilangnya satu hektar lahan persawahan (produktivitas rata-rata
4,5 ton GKG/ha) identik dengan hilangnya produksi beras sebesar 4,5 juta ton
beras/musim tanam (Muhammad Noor, 1996). Perluasan lahan pertanian dilakukan dengan
cara memanfaatkan lahan-lahan marjinal, diantaranya lahan pasang surut. Hal ini
dianggap mampu menggantikan kehilangan produksi tersebut.
Lahan
pasang surut merupakan lahan yang penyebarannya cukup luas. Di Indonesia
terdapat sekitar 20,10 juta ha lahan pasang surut di tiga pulau besar, yaitu
Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Widjaja Adhi et al., 1992). Sebagian besar
dari luasan tersebut belum dimamfaatkan secara maksimal. Usaha pemanfaatan
lahan pasang surut di kawasan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dimulai
sekitar 200 tahun yang lalu secara tradisional.
Pada
sekitar tahun 1920-an mulai dilakukan berbagai pembangunan di daerah lahan
pasang surut antara lain pembuatan jalan, transmigrasi dan pembuatan saluran
drainase. Program ini ternyata cukup berhasil sehingga mengilhami pemerintah
untuk melakukan pembukaan lahan pasang surut secara besar-besaran dengan
dibentuknya Tim Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Hal ini membuat
wilayah ini mulai dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Indonesia. Bahkan
ketika Indonesia menjadi negara swasembada beras ( tahun 1984) ternyata 59.1 %
didukung dari hasil padi di lahan pasang surut (Isdijanto Ar-Riza et al.,
1997).
Pemanfaatan lahan pasang surut terutama untuk
tanaman padi menghadapi berbagai kendala. Secara garis besar meliputi, rendahnya
kesuburan tanah karena kemasaman tanah yang tinggi (pH 3,0-4,5), kahat hara
makro, adanya ion atau senyawa yang meracun (Al, Fe, SO4) dan bahan organik
yang belum terdekomposisi. Selain itu, keadaan tata airnya yang kurang baik
menjadi faktor pembatas dalam pengelolaannya (Muhammad Noor, 1996). Meskipun
dalam pemanfaatannya menghadapi banyak kendala, namun lahan pasang surut
memberi harapan dan prospek yang baik. Karena potensi lahannya yang sangat luas
apabila diusahakan secara intensif maka dapat meningkatkan produksi padi di
masa datang. Selain itu vegetasi alami yang tumbuh di lahan pasang surut bisa
menjadi sumber bahan organik yang aman dalam meningkatkan kesuburan tanah. pada
lahan pasang surut penggunaan pupuk dapat dikurangi sehingga biaya yang
dikeluarkan petani dapat ditekan.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Untuk
meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut, pengelolaan air memegang
peranan sangat penting. Pengelolaan air dilakukan dengan memperhatikan
kedalaman gambut, tingkat pelapukan gambut, lapisan bawah gambut (substratum),
ada tidaknya bahan pengkayaan, dan tipe luapan pasang surut. Untuk
menanggulangi, mengurangi, dan menghilangkan kemasaman serta untuk meningkatkan
hasil komoditas yang dibudidayakan di lahan sulfat masam, pengelolaan air
didasarkan pada tipologi lahan pasang surut dan tipe luapan. Tipologi lahan
sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, tipologi lahan sulfat masam aktual
dengan tipe luapan B, C, D (Ritzema et al., 1993).
Berdasarkan
kemampuan arus pasang mencapai daratan, maka tipe luapan pada lahan rawa pasang
surut dibedakan menjadi 4 macam tipe luapan yaitu : (Kselik, 1990; Widjaja-Adhi
et al., 1992)
Tipe A : Lahan yang selalu terluapi air
pasang, baik pada saat pasang maksimum
(spring tide)
maupun pasang minimum (neap tide).
Tipe B : Lahan yang terluapi air pasang
pada saat pasang besar.
Tipe C : Lahan yang tidak pernah
terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh
pada air tanah
dan kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm.
Tipe D : Lahan yang tidak pernah
terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh
pada air tanah
dan kedalaman muka air tanah lebih dari 50 cm.
Gambar 1. Tipe
luapan air pada lahan rawa pasang surut
(Sumber :
Widjaja-Adhi et al., 1992)
Klasifikasi tipe
luapan ini didasarkan pada pasang maksimum dan minimum pada saat musim hujan
(Gambar 1). Untuk musim kemarau,kemampuan arus pasang mencapai daratan
berkurang, sehingga perlu perancangan teknik pengelolaan air harus disesuaikan.
Pemanfaatan
lahan pasangan surut terutama tipe A dan tipe B yaitu sistem persawahan karena
sistem ini paling tepat dan aman terutama terhadap kendala yang ditimbulkan
akibat sifat fisik dan kimia tanah. Sistem sawah akan membuat tanah tetap dalam
keadaan reduksi dan pada keadaan ini pirit tetap stabil di dalam tanah sehingga
tidak membahayakan bagi tanaman padi (Widjaya-Adhi et al., 1992). Berhubungan
dengan sistem ini maka pemilihan varietas yang sesuai, pengelolaan air dan
pemanfaatan vegetasi alami merupakan kunci utama dalam memperoleh hasil yang
optimal.
Kendala
dan Upaya Pemanfaatan Lahan Pasang Surut Lahan pasang surut biasanya dicirikan
oleh kombinasi beberapa kendala seperti (Anwarhan dan Sulaiman, 1985):
1.
Ph
rendah
2.
Genangan
yang dalam
3.
Akumulasi
zatzat beracun ( besi dan aluminium)
4.
Salinitas
tinggi, kekurangan unsur hara
5.
Serangan
hama dan penyakit
6.
Tumbuhnya
gulma yang dominan.
A. Pemilihan
varietas untuk persawahan
Sebagian
besar petani di lahan pasang surut menggunakan padi varietas lokal. Di kalimantan
selatan terdapat lebih dari 100 jenis padi lokal. Meskipun masa semai sampai
panen hampir satu tahun tetapi ada banyak keunggulannya antara lain :
1)
Kegiatan
budidaya padi lokal sekali setahun dimulai bulan April- Mei dan air di lahan
mulai surut sehingga siap dilakukan penanaman.
2)
Keadaan
air cukup dalam ( bagi padi ungggul) pada saat tanam sedangkan padi lokal mampu
tumbuh karena mempunyai batang yang cukup tinggi sehingga keadaan ini
mengurangi serangan gulma. Saaat air lebih surut maka kanopi padi sudah
sempurna menutupi permukaan tanah. akibatnya gulma yang tumbuh relatif kecil.
Serangan hama walang sangit biasa menyerang pada bulan juni dapat dihindari
karena fase masak susu terjadi pada bulan juli. Disamping itu, padi lokal biasa
dipanen bulan Agustus-September sehinggga menghindari serangan tikus.
3)
Pada
musim tanam bulan April konsentrasi senyawa meracun seperti garam dan besi
mulai menurun (Hasegawa et al., 2003). Hal ini disebabkan curah hujan bulan
Desember-Maret yang tinggi, air hujan mengencerkan senyawa meracun pada level
yang tidak membahayakan.
4)
Varietas
padi lokal mampu tumbuh pada suasana masam.
5)
Akar
padi varietas lokal (kal-sel) mampu mengeluarkan eksudat sehingga membuat pH di
sekitar rhizoplant jauh lebih tinggi dibandingkan pH tanah. hal ini berasosiasi
dengan adanya peningkatan ammonia (NH3) yang berasal dari orgaisme
penambat N yaitu Spingomonas sp yang
hidup di rhizoplant padi lokal.
B. Pengelolaan
tata air
Sistem
tata air yang telah dikembangkan untuk reklamasi lahan pasang surut terdapat
empat sistem yaitu sistem controllled drainage (sistem Handil), sistem Tidal
Swamp Canalization ( sistem anjir), sistem garpu dan sistem sisir (Departemen
Pertanian, 1985 ; Muhammad Noor, 2000).
1.
Sistem controlled drainage (sistem Handil).
Kata handil diambil dari kata anndeel
dalam bahasa Belanda yang artinya kerjasama, gotong royong. Sistem controllled
drainage (sistem Handil) merupakan penyempurnaan dari sistem rakyat yang
didasarkan pada sistem tradisional. Rancangannya sangat sederhana dengan
membuat saluran yang menjorok masuk dari muara sungai di kiri dan kanan sungai
untuk keperluan drainase dan pengairan. Saluran berukuran lebar 2m – 3m, dalam
0,5 – 1 m, dan panjang masuk dari muara sungai 2 km – 3 km. Jarak antara handil
satu dengan yang lainnya berkisar 200 m – 300 m. panjang handil biusa ditambah
atau diperluas mencapai 20 – 60 ha ( Idak, 1982 ; Noorsyamsi et al., 1984). Pada
pinggiran handil dibuat saluran-saluran yang tegak lurus sehingga suatu handil
dengan jaringan saluran-salurannya menyerupai bangunan sirip ikan atau daun
tulang nangka. Sistem ini mengandalkan tenaga pasang untuk mengalirkan air
sungai ke saluran-saluran handil dan parit kongsi, kemudian mengeluarkannya ke
arah sungai jika surut.
2.
Sistem Tidal Swamp Canalization (
sistem anjir)
Sistem
Tidal Swamp Canalization ( sistem
anjir) yaitu sistem tata air makro dengan pembuatan saluran yang menghubungkan
dua sungai besar. Saluran induk berfungsi sebagai saluran pemberi pada waktu
pasang dan sebagai saluran pembuang pada waktu surut.
3. Sistem garpu
Sistem
garpu adalah sistem tata air dirancang dengan saluran-saluran yang dibuat dari
pingir sungai masuk menjorok ke pedalaman berupa saluran navigasi dan saluran
primer, kemudian disusul dengan saluran sekunder yang terdiri atas dua saluran
cabang sehingga jaringan berbentuk menyerupai garpu. Ukuran lebar saluran
primer antara 10 m- 20 m . ukuran lebar saluran sekunder antara 5 m – 10 m
(Notohadiprawiro, 1996). Pada setiap ujung saluran sekunder dibuat kolam yang
berukuran luas sekitar 90.000 m2 (300m x 300m) sampai dengan 200.000 m2 (400mx
500 m) dengan kedalaman antara 2,5 m – 3,0 m. Kolam ini berfungsi untuk
menampung sementara unsur dan senyawaberacun pada saat pasang, kemudian diharapkan
keluar mengikuti surutnya air.
4. Sistem sisir
Sistem
sisir merupakan pengembangan sistem anjir yang dialihkan menjadi satu saluran
utama atau dua saluran primer yang membentuk sejajar sungai. Panjang saluran
sekunder mencapai 10 km. Pada sistem ini dubuat saluran pemberi air dan saluran
pembuangan berbeda. Pada setiap saluran tersier dipasang pintu air yang
bersifat otomatis (aeroflapegate). Pintu ini bekerja secara otomatis mengatur
tinggi muka air sesuai pasang dan surut.
C. Potensi
vegetasi alami (gulma) lahan pasang surut
Ada
berbagai spesies yang tumbuh di lahan pasang berdasrkan hasil inventarisasi
gula yang dijumpai sebanyak 181 spesies yang terdiri dari tiga golongan, yakni
golongan rumput, golongn teki dan golongan berdaun lebar. Gulma ini bukan hanya
sebagai tanaman pengganggu bagi tanaman padi tetapi sangat bermanfaat.
Gulma
mampu tumbuh dengan sangat cepat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
organik sumber unsur-unsur hara yang berguna bagi tanaman, seperti Azollae
pinata yang mampu menambat N. Pemanfaatan ini sangat berarti besar dalam usaha
menjaga nilai kesuburan tanah.. Teknik pemanfaatanya sudah diterapkan oleh
petani, diantaranya ketika penyiangan maka gulma yang dicabuk dibenamkan
kembali kedalam tanah dan cara ini dapat menyuburkan tanah tanpa memerlukan masukan
dari pupuk. Dengan memperhatikan berbagai aspek mulai dari karakteristik,
potensi dan kendala yang dihadapi, maka solusi yang terbaik dalam pemanfaatan
lahan pasang surut untuk meningkatkan produksi padi tanpa harus meniggalkan
kaidah pertanian yang berkesinambungan dengan berwawasan lingkungan. Sehingga
di masa yang akan datang lahan pasang suruttidak menjadi lahan yang
terdegradasi dan rusak. Hal yang terpenting adalah lahan pasang surut mampu
memberi hasil dan keuntungan bagi petani.
Daftar Pustaka nya tidak ada ya?
BalasHapus